Laluaku duduk disampingnya, aku bertanya kepadanya tentang hadits ini, ia lalu mnceritakannya sebagaimana dahulu ia menceritakan kepadaku pertama kali. [Az Zuhri] berkata; "Setelah itu, diturunkan beberapa fardhu dan masalah yang kami lihat segala urusan telah selesai, oleh karena itu siapa yang bisa untuk tidak tertipu, maka lakukanlah."
Kumpulan Hadits shahih beserta Arabnya yang pendek dan ringkas, cocok untuk kita hafal dan kita gunakan sebagai pedoman hidup. Hadits adalah sumber hukum di dalam islam yang kedudukannya berada di posisi kedua di bawah Al Quran selain ijma dan qiyas secara berurutan. Hadits ini jumlahnya sangat banyak dan tidak ada yang bisa memastikan berapa banyaknya hadits yang di keluarkan oleh Nabi muhammad, disini kami akan menuliskan beberapa hadits hadits pendek yang sahih untuk kita hafal dan amalkan. Jika Anda ingin mengetahui secara lengkap apa itu hadits dan macam macam hadits silahkan anda baca artikel kami sebelumnya tentang pengertian dan macam macam hadits. Untuk memudahkan anda mencari topik hadis sahih, silahkan anda buka daftar isi dibawah ini. Daftar IsiKumpulan Hadits Shahih Beserta Arabnya Yang RingkasHadits Tentang NiatHadits Tentang IkhlasHadits Pendek Tentang SabarHadits Tentang AkhlakHadits Tentang SenyumHadits Tentang JujurHadits Tentang Menuntut IlmuHadits Tentang Ilmu AgamaHadits Tentang Berbakti Kepada Orang TuaHadits Tentang ZinaAyat Al Quran Tentang JodohHadits Pendek Tentang NikahHadits Tentang Wanita ShalihahHadits Tentang HartaHadits Pendek Tentang SedekahHadits Tentang BekerjaHadits Tentang Larangan MalasHadits Tentang NafkahHadits Tentang IbadahHadits Tentang SholatAyat Al Quran Tentang SholatHadits Tentang PuasaHadits Tentang Bid’ahHadits Tentang DuniaHadits Tentang AkhiratHadits Tentang KematianHadits Tentang Hari KiamatHadits Tentang NerakaHadits hadits Pendek Tentang Surga Hadits Tentang Niat إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ Artinya “Sesungguhnya amal seseorang itu tergantung dengan niatnya” [Hadist Riwayat Bukhari & Muslim] Hadits Tentang Ikhlas إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ Artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang murni hanya untuk-Nya, dan dicari wajah Allah dengan amalan tersebut.” [HR. An-Nasa’i] Hadits Pendek Tentang Sabar إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى Artinya “Sesungguhnya dikatakan sabar adalah ketika di awal musibah.” [HR. Bukhari, no. 1283]. Hadits Tentang Akhlak أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا Artinya “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [HR. Abu Daud no. 4682 dan Ibnu Majah no. 1162.] Hadits Tentang Senyum تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ Artinya “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah” [HR. Tirmidzi]. Hadits Tentang Jujur عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ اِلَى الْبِرِّ اِنَّ الْبِرِّيَهْدِيْ اِلَى الْجَنَّةِ Artinya “Hendaknya kamu selalu jujur karena kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa ke dalam surga.” [HR. Bukhari dan Muslim] طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Artinya “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” [HR. Ibnu Majah no. 224]. مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ Artinya “Barang siapa yang berjalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan dirinya jalan menuju surga”[HR. Muslim]. Hadits Tentang Ilmu Agama مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ Artinya “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang ilmu agama.” [HR. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037]. Hadits Tentang Berbakti Kepada Orang Tua أَطِعْ أَبَاكَ مَا دَامَ حَيًّا وَلاَ تَعْصِهِ Artinya “Taatilah ayahmu selama dia hidup dan selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat.” [HR. Ahmad] إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ “Sesungguhnya kebajikan terbaik adalah perbuatan seorang yang menyambung hubungan dengan kolega ayahnya.” [HR. Muslim] Hadits Tentang Zina لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن Artinya “Pezina tidak dikatakan mu’min ketika ia berzina” [HR. Bukhari no. 2475, Muslim Ayat Al Quran Tentang Jodoh اَلْخـَبِيـْثــاَتُ لِلْخَبِيْثـِيْنَ وَ اْلخَبِيْثُــوْنَ لِلْخَبِيْثاَتِ وَ الطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ. Artinya “Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik”. [QS. An Nur26]. Hadits Pendek Tentang Nikah تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” [HR. An Nasa’I dan Abu Dawud] Hadits Tentang Wanita Shalihah اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ. Artinya “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” [HR Muslim]. Hadits Tentang Harta إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيرِ حَقٍّ، فَلَهُمُ النَّارُ يَومَ القِيَامَةِ “Ada sejumlah orang yang membelanjakan harta Allah secara serampangan atau asal-asalan dengan cara yang tidak benar, maka untuk mereka neraka pada hari Kiamat.” [HR. Bukhari ]. Hadits Pendek Tentang Sedekah ‎ اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، فَاليَدُ العُلْيَا هِيَ المُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ Artinya “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah orang yang ‎memberi dan tangan yang dibawah adalah orang yang meminta.” [HR. al-Bukhari dan Muslim ‎ Hadits Tentang Bekerja أَىُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ Artinya “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur diberkahi.” [HR. Ahmad] مَنْ اَمْسَى كَالًّا مِنْ عَمَلِ يَدَيْهِ اَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ Artinya “Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek karena bekerja dengan kedua tangannya dalam mencari nafkah maka di saat itu diampuni dosa baginya.” [HR. Thabrani] Hadits Tentang Larangan Malas احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ Artinya “Bersemangatlah melakukan hal yang bermanfaat untukmu dan meminta tolonglah pada Allah, serta janganlah engkau malas” [HR. Muslim] Hadits Tentang Nafkah كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ Artinya “Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang wajib ia nafkahi.” [HR. Abu Daud] Hadits Tentang Ibadah أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْلَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَغِنَّهُ يَرَاكَ Artinya “Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu” [HR Muslim] Hadits Tentang Sholat قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ Artinya “Wahai Bilal, berdirilah. Nyamankanlah kami dengan mendirikan shalat.” [HR. Abu Dawud no. 4985, shahih] كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ، صَلَّى Artinya “Dulu jika ada perkara yang menyusahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau mendirikan shalat.” [HR. Abu Dawud no. 1420, hadits hasan] Ayat Al Quran Tentang Sholat وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ Artinya “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” [QS. Al-Baqarah 43]. Hadits Tentang Puasa عَلَيْكَ بِالصِّيَامِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ Artinya “Hendaklah kalian berpuasa karena puasa itu tidak ada tandingannya.” [HR. Imam Ahmad dan An-Nasa’i] Hadits Tentang Bid’ah مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ Artinya “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Hadits Tentang Dunia إِنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ من بعدي ما يفتح عليكم من زهرة الدنيا و زينتها Artinya “Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian.” [HR Bukhari Muslim]. Hadits Tentang Akhirat اَللهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشَ الْآخِرَةِ Artinya “Ya Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” [HR Bukhari Muslim]. Hadits Tentang Kematian أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ Artinya “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu mengingat kematian”. [HR Tirmidzi, Nasai, Ahmad dan Ibnu Majah]. Hadits Tentang Hari Kiamat بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ. Artinya Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua jari’ ini.’ [HR. Bukhari] Hadits Tentang Neraka نَارُكم هذِه ما يُوقدُ بنُو آدمَ جُزْءٌ واحدٌ من سبعين جزءاً من نار جهنَّم Artinya “Api yang dinyalakan oleh Ibnu Adam adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya api Jahannam” [HR. Bukhari & Muslim] Hadits hadits Pendek Tentang Surga إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِهِ بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ Artinya “Sesungguhnya di surga ada seratus tingkat yang dipersiapkan bagi para mujahidin di jalan-Nya. Jarak antatingkat seperti jarak bumi dan langit.” [HR. al-Bukhari]. فِى الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ لاَ يَدْخُلُهُ إِلاَّ الصَّائِمُونَ Artinya “Di surga ada delapan pintu. Ada pintu yang dinamai Rayyan, tidak ada yang masuk melalui pintu tersebut melainkan orang-orang yang puasa.” [HR. Buhari]. آتِى بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ. فَيَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ لاَ أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ Artinya Aku mendatangi pintu surga dan minta untuk dibukakan. Penjaga surga pun berkata, “Siapa kamu?” Aku menjawab, “Muhammad.” Penjaga surga berkata, “Aku telah diperintah membukanya untukmu, dan aku tidak boleh membukanya untuk orang lain sebelummu.” [HR. Muslim] آتِى بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتَفْتِحُ فَيَقُولُ الْخَازِنُ مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُولُ مُحَمَّدٌ. فَيَقُولُ بِكَ أُمِرْتُ لاَ أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ Artinya Aku mendatangi pintu surga dan minta untuk dibukakan. Penjaga surga pun berkata, “Siapa kamu?” Aku menjawab, “Muhammad.” Penjaga surga berkata, “Aku telah diperintah membukanya untukmu, dan aku tidak boleh membukanya untuk orang lain sebelummu.” [HR. Muslim] نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ Artinya “Kita adalah yang terakhir masanya di dunia, tetapi yang pertama di hari kiamat. Kitalah yang akan masuk surga lebih dahulu.” [HR. Muslim] Demikianlah kumpulan hadits shahih beserta arabnya juga artinya yang pendek dan ringkas, semoga bermanfaat dan mudah mudahan kita bisa menghafal dan mengamalkan hadits hadits pendek tersebut. Wallahu a’lam.
Jawab: a. Abu Hurairah meriwayatkan sebanyak 5.374 hadis. b. Abdullah bin Umar meriwayatkan sebanyak 2.630 hadis. c. Anas bin Malik meriwayatkan sebanyak 2.286 hadis. d. Aisyah Ummul Mukminin meriwayatkan sebanyak 2.210 hadis. e. Abdullah bin Abbas meriwayatkan sebanyak 1.160 hadis. Abdullah meriwayatkan sebanyak 1.540 hadis. g.
Kategori Tema Hadis dan ilmu-ilmunya Tema-tema yang terkait dengan sabda dan prilaku Nabi sallallahu alaihi wa sallam, disertai keterangan dan penjelasan pada sebagian makna hadits. Juga pembahasan status hadits, baik dari sisi sanad silsilah para rowi hadits maupun matan teks hadits, apakah shahih atau lemah, disertai juga kaidah untuk mengetahui hal tersebut. Membatalkan Mengikuti
HaditsTentang Akhlak أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. Artinya: "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya." [HR. Abu Daud no. 4682 dan Ibnu Majah no. 1162.] Hadits Tentang Senyum

Benarkah Rasulullah Melarang Umatnya Banyak Bertanya? Tidak ada manusia yang mengetahui segala hal. Hidup manusia selalu berproses. Semakin banyak manusia belajar, maka pengetahuannya pun semakin luas. Salah satu cara untuk menambah pengetahuan adalah dengan bertanya kepada yang orang yang pandai dan lebih tahu tentang materi pertanyaan. Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون Artinya, “Bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan bila kalian tidak mengetahui,” Surat Al-Nahl ayat 43. Kendati bertanya dianjurkan dalam Islam, tapi konon terlalu banyak bertanya juga tidak dibolehkan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak penting. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah berkata فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ Artinya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi,” HR Bukhari dan Muslim. Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah sering bertanya atau tidak bertanya sama sekali? Dalam ayat di atas dianjurkan untuk bertanya, sementara hadits di bawahnya melarang banyak bertanya. Untuk memahami kedua dalil ini agar tidak bertolak-belakang atau kontradiktif, Imam An-Nawawi dalam Syarah Matan Arba’in menjelaskan ada tiga macam bentuk pertanyaan. Ia mengatakan اعلم أن السؤال على أقسام القسم الأول سؤال الجاهل عن فرائض الدين كالوضوء والصلاة والصوم وعن أحكام المعاملة ونحو ذلك.....والقسم الثاني، السؤال عن التفقة في الدين لا للعمل وحده مثل القضاء والفتوى، وهذا فرض الكفاية....والقسم الثالث، أن يسأل عن شيء لم يجبه الله عليه ولا على غيره وعلى هذا حمل الحديث Artinya, “Pertanyaan ada beberapa macam pertama, pertanyaan orang awam tentang kewajiban agama, semisal wudhu, shalat, puasa, hukum muamalah, dan lain-lain…Bentuk kedua adalah pertanyaan tafaqquh fid din pendalaman agama yang tidak hanya diamalkan untuk diri sendiri, seperti qadha’ dan fatwa, menanyakan hal yang berkaitan dengan persoalan ini adalah fardhu kifayah…Bentuk ketiga adalah bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, inilah yang dimaksud dalam hadits di atas.” Imam An-Nawawi menjelaskan ada tiga macam pertanyaan pertama, ada pertanyaan yang penting, khususnya yang berkaitan dengan cara ibadah wajib, maka hal seperti ini wajib ditanyakan kepada orang yang lebih mengetahui agar kita bisa menjalankan ibadah dengan benar dan sempurna. Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak, misalnya minta fatwa kepada seorang mufti terkait permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Ketiga, bertanya tentang sesuatu yang tidak penting, yang kalau hal ini ditanyakan bisa jadi akan memberatkan. Larangan bertanya dalam hadits di atas sebetulnya, menurut Imam An-Nawawi, merespon orang yang banyak bertanya tentang sesuatu yang didiamkan dalam syariat. Konteks hadits ini adalah ketika Allah SWT menurunkan ayat yang berkaitan dengan kewajiban haji, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah haji itu tiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah diam dan tidak menjawab sampai sahabat itu bertanya untuk yang ketiga kalinya. Rasulullah mengatakan, “Kalau aku jawab iya, niscaya akan memberatkan kalian. Tinggalkanlah jangan bertanya terhadap sesuatu yang aku biarkan.” Dalam riwayat lain Rasulullah mengatakan, “Diamnya syariat adalah rahmat bagi kalian, maka janganlah bertanya.” Dengan demikian, tidak semua pertanyaan itu dilarang dan dicela dalam Islam. Pertanyaan yang memberikan manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain tetap dianjurkan dalam Islam, bahkan hukumnya wajib bila itu berkaitan dengan ibadah wajib. Tetapi kami menyarankan untuk menahan diri dari menanyakan hal-hal yang tidak penting karena jawaban dari pertanyaan itu bisa jadi akan menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Wallahu a’lam. Ustadz Hengki Ferdiansyah, pegiat kajian hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah

Shahihkahhadits "Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku diutus dengannya"? 27. Ahsanallaahu ilaikum, apakah Al Musthafa termasuk dari nama Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam? ArticlePDF Available AbstractAs the second source of Islam after the Qur’an, hadis is intresting to be studied by muslims as well as non-muslims Orien­talists. There are many differences between hadis studies according to Orientalists and Muslim scholars. The differences occur in ac­cordance with their scientific tradition, beliefs, and points of view which are relatively dissimiliar. Muslim scholars see Hadis as the source of Islam that came from the Prophet Muhammad – peace be upon him. It is the sayings or statements, doings, and approvals of the Prophet, meanwhile according to Orientalists, hadis was made by muslim community in the first and second age of Higra. It does not the sayings, doings, or approvals of the Prophet, but the say­ings of common people which later transmitted and hang up to the Prophet. This article tries to explain critcal tradition of hadis among Orientalists along with the topicts such as the history of hadis stud­ies among Orientalists, the attitudes of Orientalists toward Islam, generally and especially hadis, the Orientalist’s points of view about sanad and matn of Hadis. The analysis of this article also describe implication of the Orientalists viewpoints to the existence and pro­bativeness of the Prophet’s hadis. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 199PERSPEKTIF ORIENTALISTENTANG HADIS NABI Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan KehujjahannyaIdriSekolah Tinggi Agama STAIN Pamekasan, Jl. Pahlawan Km. 04 Pamekasan, email idri_idr As the second source of Islam after the Qur’an, hadis is intresting to be studied by muslims as well as non-muslims Orien-talists. There are many differences between hadis studies according to Orientalists and Muslim scholars. The differences occur in ac-cordance with their scientic tradition, beliefs, and points of view which are relatively dissimiliar. Muslim scholars see Hadis as the source of Islam that came from the Prophet Muhammad – peace be upon him. It is the sayings or statements, doings, and approvals of the Prophet, meanwhile according to Orientalists, hadis was made by muslim community in the rst and second age of Higra. It does not the sayings, doings, or approvals of the Prophet, but the say-ings of common people which later transmitted and hang up to the Prophet. This article tries to explain critcal tradition of hadis among Orientalists along with the topicts such as the history of hadis stud-ies among Orientalists, the attitudes of Orientalists toward Islam, generally and especially hadis, the Orientalist’s points of view about sanad and matn of Hadis. The analysis of this article also describe implication of the Orientalists viewpoints to the existence and pro-bativeness of the Prophet’s hadis. 200 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216Keywords sanad, matan, kritik, Musthafa Azami, Joseph SchachtPENDAHULUANDalam tradisi keilmuan, khususnya dilihat dari aspek kawasan, ter-dapat dua kawasan, yaitu Barat dan Timur. Dunia Barat diwakili oleh negara-negara Barat seperti Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, Amerika, dan sebagainya. Sebagian mereka mempunyai concern terhadap dunia Timur dan dikenal sebagai kaum orientalis. Kaum orientalis ini mengkaji dunia Timur termasuk Islam berdasarkan sudut pandang Barat. Di samping itu, ada pula orang-orang Timur yang tertarik untuk mengkaji dunia Barat dengan menggunakan sudut pandang ketimuran yang dinamakan dengan kaum oksiden-talis. Baik para orientalis maupun oksidentalis melaksanakan tugas mereka sesuai sudut pandang masing-masing terhadap objek yang mereka kaji sehingga tidak jarang menghasilkan kesimpulan yang melaksanakan tugasnya, para orientalis umumnya con-cern terhadap berbagai kerja intelektual berikut [1] mengedit buku-buku warisan Islam dan menerbitkannya, [2] mempelajari bahasa-bahasa daerah di berbagai negeri timur, [3] mempelajari berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kejiwaan yang mempengaruhi perilaku suatu bangsa, [4] mempelajari berbagai sekte dan aliran kepercayaan Idri, Eksistensi Hadis Nabi 201di suatu negara, baik yang moderat maupun yang ekstrim, dan [5] meneliti berbagai peninggalan kuno di berbagai negara. 1Khusus berkaitan dengan Islam, pada awal pertumbuhannya, kajian orientalis bersifat umum. Namun, dalam perkembangannya kajian itu mengalami spesifikasi sehingga lahir berbagai kajian tentang Islam seperti al-Qur’an, hadis, hukum, sejarah, dan seba-gainya. Pada dasarnya, fokus kajian Islam yang mereka tekankan adalah sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan hadis nabi. Dalam frame kajian orientalis yang sudah terspesikasi men-jadi beberapa bidang tersebut, maka artikel ini mengetengahkan bagaimana kajian orientalis di bidang hadis. SEJARAH KAJIAN HADIS DI KALANGAN ORIENTALISDari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orien-talis, salah satunya adalah hadis nabi. Tentang siapa orientalis yang pertama kali mengadakan kajian di bidang ini, belum ditemukan kepastian sejarah. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut Joynboll, sebagaimana dikutip oleh Daniel W. Brown, sar-jana Barat yang pertama kali melakukan kajian skeptik terhadap hadis adalah Alois Sprenger kemudian diikuti oleh Sir Willian Muir dalam karyanya Life of Mohamet dan mencapai puncaknya pada karya Ignaz Menurut M. Musthafa Azami, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang Yahudi ke-lahiran Hongaria 1850-1920 M. melalui karyanya berjudul Mu-hamedanische Studien pada tahun 1980 yang berisi pandangannya tentang Pendapat ini dibantah oleh Wensinck bahwa orientalis pertama yang mengkaji hadis adalah Snouck Hurgronje yang menerbitkan bukunya Revre Coloniale Internationale tahun 1Abdul Shabur Marzuq, Al-Ghazw al-Fikr, terj. Abu Farah Jakarta CV Esya, l99l, W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought Bandung Mizan, 2000, Mus}t}afa> Azami, Studies in Hadits Methodology and Literature In-dianapolis American Trust Publications, 1977, 94. 202 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 Jika pendapat ini benar, maka karya Hurgronje terbit empat tahun lebih dahulu dari karya lain menyatakan bahwa orientalis pertama yang meng-kaji hadis adalah Alois Sprenger. Dalam pendahuluan bukunya menge-nai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad, missionaris asal Jerman yang pernah lama tinggal di India ini, mengklaim bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot cerita-cerita bohong tapi menarik.5 Klaim ini diikuti oleh rekan satu misinya, yaitu William Muir, seorang orientalis asal Inggris yang juga mengkaji tentang Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatur hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut un-tuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan ”... the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities...”.6 Orientalis lain yang juga mengkaji hadis adalah Hamilton Alexander Roskeen Gibb, seorang orientalis asal Ing-gris 1895-1971 melalui karyanya Mohammedanism dan Shorter Encyclopaedia of Islam, dilanjutkan oleh Joseph Schacht seorang orientalis berkebangsaan Polandia 1902-1969 melalui karyanya The Origin of Muhammadan Jurisprudence, GHA. Joynboll dengan bukunya Muslim Tradition, Studies in Chronology, Provenance, and Authorship of Early Hadith, Bernard G. Weiss, dengan bukunya The Search for God’s Law, serta masih banyak nama-nama lain seperti W. Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, Ira Lapidus, dan John L. dari kontroversi di atas, hal yang perlu diketahui adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil menanamkan kera-guan terhadap otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya, sehingga karyanya dianggap sebagai ’kitab suci’ oleh para orientalis Di samping itu, kehadiran 4Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis Bandung Benang Merah Press, 2004, Sprenger, ”On the Origin and Progress of Writing Down the Historical Facts among the Mosulmans,” dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 1856-1857, 375-376. 6William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of He-gira, Jilid I London Oxford University Press, 1988, Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis Jakarta Pustaka Firdaus, 2004, 8. Idri, Eksistensi Hadis Nabi 203Joseph Schacht melalui bukunya The Origin of Muhammadan Juris-prudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggap sebagai ’kitab suci kedua’ oleh para orientalis berikutnya, juga telah membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian dan ka-jian hadis di kalangan orientalis. Kedua orang inilah yang mempu-nyai peranan besar dalam pengkajian hadis di kalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’qub, untuk mengetahui kajian hadis di kalangan orientalis cukup dengan hanya menelusuri penda-pat kedua tokoh ini, karena para orientalis sesudah mereka pada umumnya hanya mengikuti pendapat demikian, ada pula orientalis yang memiliki pandangan yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuan di atas. Freeland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan 1908 membagi subs-tansi hadis menjadi tiga kelompok besar [1] hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara umum, [2] hadis yang dipermasalahkan karena hadis-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi, dan [3] hadis yang menceritakan wahyu yang diterima oleh Meskipun klasifikasi oleh Freeland Abbott ini jauh berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, seca-ra tidak langsung menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari nabi. Pengakuan yang lebih tegas di-ungkapkan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary Papiry Qur’anic Commentary and Tradition 1957, menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadannya hingga masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama Hijriyah. Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-manuskrip yang berhu-bungan dengan hadis dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Hurgronje, Goldziher, dan Schacht, namun ada pula yang bertentangan dengan mereka dalam memandang Islam umumnya dan hadis khususnya. Pergeseran pendapat tersebut, menurut hemat 8Ibid., Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik Jakarta Raja Grafindo Persada, 1997, 175. 10Darmalaksana, Hadis, 119-120. 204 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216penulis, setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut [1] Berakhirnya kolonialisme di negara-negara Islam sekaligus menga-ki-batkan perubahan penilaian negara-negara eks kolonial terhadap negara-negara Islam bekas jajahan dan ini juga berakibat pada pe-rubahan penialaian terhadap Islam termasuk hadis Nabi. [2] Terjadi pergeseran paradigma dari pemikiran tentang hadis yang bersifat negatif ke pemikiran yang bersifat positif, disebabkan oleh hu-bungan yang semakin baik antara Barat dengan Islam. [3] Adanya upaya pengkajian Islam dan hadis yang lebih didasarkan pada per-timbangan objektif dan ilmiah bukan pada ranah kepentingan mis-sionaris dan politik kekuasaan. Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa pandangan para orientalis terhadap Islam dan khususnya hadis Nabi sudah mengalami perubahan, hanya sebagian kecil dari mereka saja yang berpandangan positif terhadap Islam dan hadis itu. SIKAP PARA ORIENTALIS TERHADAP ISLAM DAN HADIS NABIPerbedaan orientalis dalam memandang Islam, termasuk di dalam-nya hadis, tidak terlepas dari motivasi dan sikap mereka dalam mengkaji Islam. Setidaknya sikap mereka itu dapat dibedakan men-jadi tiga. Pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan an-tara Timur dengan Barat pada masa sebelum Perang Salib. Kedua, pasca perang Salib sikap tersebut bergeser ke arah pendistorsian Islam yang dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan yang sema-kin menguat. Ketiga, sikap mulai mengapresiasi Islam yang terjadi pada perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh semangat pengembangan intelektual yang rasional. Meskipun be-lum seratus persen objektif, pada masa ini penghargaan dan peng-hormatan terhadap Islam mulai bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terle-pas dari sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimana pun pembicaraan tentang hadis akan selalu ber-hubungan dengan Nabi Muhammad yang perkataan, perbuatan, dan persetujuannya melahirkan hadis. Dalam konteks ini, pencitraan Idri, Eksistensi Hadis Nabi 205Nabi Muhammad di mata orientalis dapat dipandang dari dua sisi. Satu sisi, Nabi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang telah membebaskan manusia dari kezaliman. Pandangan ini dike-mukakan oleh antara lain De Boulavilliers dan Savary. Di sisi lain, Nabi Muhammad dipandang sebagai paganis, penganut Kristen dan Yahudi yang murtad yang akan menghancurkan ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pan-dangan ini dikemukakan antara lain oleh D’Herbelot, Dante Alig-hieri, Washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Sikap mendua di atas telah membentuk citra yang sama ter-hadap hadis. Dalam pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknya. Meskipun hal ini tidak menunjukkan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasi secara keseluruhan ternyata kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak dibanding kelompok yang mengakui eksistensi hadis. Ke-nyataan ini menunjukkan bahwa mayoritas orientalis memandang hadis secara negatif dan ini berakibat pada labilitas fondasi otenti-sitas dan kebenaran hadis di mata meraka, sehingga mereka tidak akan mengakui kebenaran hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi, termasuk sebagai sumber dan dasar hujjah ajaran Islam yang dapat dipercaya kebenarannya. Menurut Sa’d al-Marsafi, sebagian orientalis berpandangan skep-tis terhadap keberadaan dan otentisitas hadis Nabi,12 sebab menurut mereka, pada masa-masa awal pertumbuhan Islam, hadis tidak ter-catat sebagaimana al-Qur’an karena tradisi yang berkembang saat itu terutama pada masa Nabi dan sahabat adalah tradisi lisan bukan tradisi tulisan dan sekaligus ada larangan secara umum untuk me-nulis sesuatu dari Nabi selain al-Qur’an - meskipun ada juga hadis 11Edward Said, Orientalisme Bandung Pustaka Salman, 1994, 85, Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam Jakarta Bulan Bintang, 1985, 102-109, juga Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jakarta Ichtiar Baru Van Hoove, 1994, al-Mursafi, Al-Mushtashriqûn wa al-Sunnah Kuwait Maktabah al-Ma-nar al-Islamiyah, 1994, 19. 206 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216yang menyatakan sebaliknya secara khusus -, maka dimungkin-kan banyak hadis yang dipertanyakan otentitasnya atau sama se-kali diragukan keberadaannya, bahkan semua hadis, terutama yang berkaitan dengan hukum dikatakan sebagai hasil karya sahabat, tabi’in, atau para ulama dan fuqaha’ pada abad pertama Hijriyah dan permulaan abad kedua Hijriyah, dan menjadi suatu sistem yang matang sejak munculnya kompilasi hadis pada abad ketiga Hijriyah yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensio-nal, komprehensif yang mencakup seluruh aspek menyatakan bahwa kebanyakan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab koleksi hadis mengandung ’semacam keraguan ketimbang dapat dipercaya’. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam, akan tetapi le-bih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi kepentingan-kepen-tingan yang timbul dalam masyarakat selama masa kematangan dalam perkembangan masyarakat itu. Ia mendasarkan pandangan pada beberapa hal. Di antaranya adalah material yang ditemukan pada koleksi yang lebih akhir tidak merujuk kepada referensi yang lebih awal, penggunaan isnād juga mengindikasikan transmisi pe-riwayatan hadis secara lisan, bukan merujuk kepada sumber tertu-lis. Selain itu, dalam hadis-hadis banyak ditemukan riwayat yang betentangan. Hal lain yang membuat dia skeptis terhadap otenti-sitas hadis adalah fakta adanya sahabat-sahabat yunior yang meri-wayatkan hadis lebih banyak daripada sahabat-sahabat senior yang diasumsikan mengetahui lebih banyak karena lamanya mereka berinteraksi dengan pandangan kebanyakan orientalis, hadis hanya merupa-kan hasil karya ulama dan ahli fiqh yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensional. Mereka menganggap bahwa hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan Kristen. Hamilton Gibb menyatakan bahwa ha-dis hanya merupakan jiblakan Muhammad dan pengikutnya dari 13Shubhi al-Shalih, Ulūm al-Hadīth wa Mustalahuh Beirut Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988, Berg, The Development of Exegesis in Early Islam Richmond Curzon Press, 2000, 9. Idri, Eksistensi Hadis Nabi 207ajaran Yahuudi dan Kristen. Sementara Ignaz Goldziher dan Joseph Schatch, dua pemuka orientalis, menyatakan bahwa hadis tidak ber-sumber dari Nabi Muhammad, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan dan pandangan orientalis yang menyangsikan kebenaran hadis tersebut dapat berdampak negatif baik bagi ajaran Islam, umat Islam, maupun non muslim. Dampak-dampak itu antara lain [1] Adanya kesan negatif tentang Islam dan khususnya hadis di mata orang-orang Barat yang membaca dan bahkan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para orientalis itu. Hal ini dapat menyebab-kan salah pengertian misunderstanding dan salah persepsi mis-perception mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. [2] Kalau demikian, para pemerhati Islam dan juga umat Islam tidak menda-patkan informasi yang objektif dan ilmiah tentang hadis - sebagai-mana menjadi tradisi di kalangan Barat dalam mengkaji sesuatu – sehingga mereka ’dibodohi’ secara akademik. [3] Metodologi kritik hadis yang dikemukakan oleh para orientalis dan menjadi ’alterna-tif’ bagi pengkajian hadis, tidak hanya bertentangan dengan meto-dologi kritik hadis yang mentradisi di kalangan umat Islam, tetapi juga berarti merobohkan teori-teori ilmu hadis yang dikenal dengan Mustalah al-Hadīth. [4] Pendapat para orientalis tersebut dapat di-jadikan dasar argumentasi oleh orang-orang yang tidak mengakui hadis kelompok inkar sunnah di kalangan umat Islam, meskipun minoritas. [5] Tidak hanya hadis yang terbantahkan kebenarannya, ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung dan membuktikan kebenaran hadis Nabi juga ikut terbantah. Ini berarti bahwa menyangsikan kebenaran hadis nabi sama saja dengan menyangsikan kebenaran sebagian ayat-ayat al-Qur’an. [6] Jika pendapat para orientalis ter-sebut dibenarkan dan diikuti oleh umat Islam, maka mereka akan meninggalkan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an dan keberagamaan mereka akan keluar dari ajaran Islam yang oleh Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayāt alā al-Islām Berut Dar al-Ilm li a-Malayin, 1987, 98-99. 208 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG SANAD DAN MA-TAN HADIS Dalam melakukan kajian sanad, para orientalis tampaknya lebih be-nyak menyoroti tentang kapan sanad itu dimulai dalam periwayatan hadis. Menurut Caetani, ’Urwah w. 94 H. adalah orang pertama yang menghimpun hadis tetapi ia tidak menggunakan sanad. Selan-Selan-jutnya ia menyatakan bahwa pada masa ’Abd al-Malik w. antara 70-80 H., penggunaan sanad dalam periwayatan hadis juga belum dikenal. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru dimu-lai pada masa antara ’Urwah dengan Ibn Ishaq w. 151 H.. Berda-sar pada pendangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis abad kedua, bahkan abad ketiga Hijriyah. Pendapat ini didukung oleh Alois yang lebih lunak dikemukakan oleh Horovits bahwa pemakaian sanad sudah dimulai sejak sepertiga akhir abad pertama R. Jobson mengatakan bahwa pada pertengahan abad pertama Hijriyah mungkin sudah ada metode semacam sanad. Se-bab, pada masa itu sejumlah sahabat sudah wafat sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi mulai meriwayatkan hadis-hadisnya, dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis itu. Hanya saja, metode sanad secara detail tentulah berkembang setelah itu secara Lammens, seorang missionaris asal Belgia, dan Leoni Caetani, missionaris Italia, menyatakan bahwa isnād muncul jauh setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam perkembangan Joseph Horovits berspekulasi bahwa sistem periwayatan hadis secara berantai isnād baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama Hijriyah. Selanjutnya, orientalis 16Ya’qub, Kritik Hadis, Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Jakarta Gema Insani Press, 2008, 30. Juga Hanry Lammens, L’Islam Croyances et Institutions, edi-si ketiga Beirut Imprimerie Chatolique, 1926, 92-93 dan Leone Chaetani, Annali Dell’Islam, Jilid I Milan Ulrico Hoepli, tth., 28-31. Idri, Eksistensi Hadis Nabi 209Jerman berdarah Yahudi ini menyatakan bahwa besar kemungkinan praktik isnād berasal dari dan dipengaruhi oleh tradisi lisan sebagai-mana dikenal dalam literatur itu, Joseph Schacht dalam The Origins of Muham-Muham-madan Jurisprudence, berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua Hijriyah dalam menyandar-kan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap per-kembangan hadis sejalan dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para qādī pada masa Dinasti Umayyah. Sekitar akhir abad pertama Hij-riyah, pengangkatan para qādī ditujukan kepada para fuqaha’ yang jumlahnya kian bertambah sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik madzhab. Untuk memperoleh legitimasi yang kuat ter-hadap putusan hukum yang diambil, maka para qādī menyandarkan putusan-putusan itu kepada tokoh-tokoh yang sebelumnya dipan-dang mempunyai otoritas. Penyandaran tersebut tidak hanya sampai kepada generasi di atas mereka, tetapi sampai kepada para sahabat dan akhirnya sam-pai kepada nabi. Tindakan ini melahirkan kelompok oposisi yang terdiri dari para ahli hadis. Pokok pikiran para ahli hadis ini adalah bahwa hadis-hadis yang disertai dengan sanad yang mereka sandar-kan kepada tokoh-tokoh sebelum mereka hingga akhirnya juga ber-muara kepada nabi. Proses penyandaran ke belakang seperti inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Projecting Back proyeksi ke 19Joseph Horovits, “Alter und Ursprung des Isnad” dalam Jurnal der Islam, Vol. 8 1917-1918, Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence Oxford Univer-sity Press, 1975, On Schacht’s, 232-233. 210 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216belakang. Berdasar pemahaman seperti inilah, maka Schacht ber-kesimpulan bahwa baik kelompok fiqh klasik maupun kelompok ahli hadis sama-sama memalsukan hadis, oleh karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi tetapi merupakan produk yang lahir dari persaingan antara para Secara umum, menurut Azami, teori ini dapat dijawab bahwa fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Sebab, fiqh merupakan produk ijtihad para mujtahid, sementara sahabat pada masa mereka, bahkan pada masa Nabi telah melakukan ijtihad ini. Oleh karena itu, sulit untuk diterima tuduhan Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat pengangkatan qādī pada masa Dinasti Umayah. Lebih lanjut, untuk mengklarifikasi teori tersebut, Azami melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah karya Suhayl ibn Abi Shalih w. 138 H.. Abu Shalih adalah murid Abu Hurayrah, sahabat Nabi. Ka-renanya, sanad hadis dalam naskah itu berbentuk Nabi Saw. - Abû Hurayrah – Suhayl. Naskah ini berisi 49 hadis yang para periwayat-nya diteliti oleh Azami sampai kepada generasi Suhayl generasi ketiga, termasuk tentang jumlah dan generasi mereka. 23 Dari penelitian itu, Azami menemukan bahwa pada generasi ketiga periwayat berjumlah sekitar 20–30 orang yang berdomisili secara terpencar seperti India, Turki, Maroko, dan Yaman, semen-tara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, menurutnya, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis sehingga menghasilkan redaksi yang sama. Sangat mustahil pula bila masing-masing mereka membuat hadis kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat sama. Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad maupun matan Idri, Eksistensi Hadis Nabi 211Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam pada abad pertama, kedua, dan ketiga Hijri-yah, oleh Azami dibantah sebagai berikut. Pertama, kenyataan seja-rah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang mengha-diri majlis nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak ha-dir. Kedua, mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriyah yang dipicu oleh persoalan politik, karena di antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan faksi politik atau golongan me-reka. Ketiga, objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah. Keempat, teori Projecting Back al-qadhf al-khalf yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gu-gur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis. Kelima, tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfū’ hadis yang mawqūf atau menjadikan muttasil hadis yang mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah. Keenam, penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan ha-dis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikh-lasan dan tanpa tendensi Di antara orientalis yang melakukan kritik hadis dari segi matan adalah Ignaz Goldziher dan Wensinck. Keduanya menganggap lemah metode kritik sanad yang dipakai para ulama sehingga produk yang dihasilkannya otomatis tidak bisa diper-tanggungjawabkan secara ilmiah. Goldziher meyangsikan seluruh matan dan menilainya sebagai buatan ulama ahli hadis dan ulama ahli ra’ Goldziher mencontohkan sebuah hadis yang berbunyi Janganlah melakukan perjalanan ke-cuali pada tiga masjid. Menurutnya, Malik ibn Marwan, seorang 25Azami, Dirāsāt, Ulūm al-Hadīth, 37. 212 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216khalifah Dinasti Bani Umayah di Damaskus, merasa khawatir kalau ’Abd Allah ibn Zubayr, gubernur yang memproklamirkan diri se-bagai khalifah di Mekah, mengambil kesempatan meminta bay’ah kepada orang-orang Syam yang akan beribadah haji. Karenanya, ia berusaha agar mereka tidak menunaikan haji ke Mekah dan sebagai gantinya cukup menunaikan haji ke Qubbah al-Sakhrah di al-Quds, dengan menyuruh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri membuat hadis marfū’ di Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri tehadap hadis di atas dibantah oleh Azami. Menurutnya, tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri dan kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli se-jarah antara tahun 50 H. Dan 58 H., dan ia tidak pernah bertemu dengan ’Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H. Di sisi lain, pada tahun 68 H., orang-orang Dinasti Umayah berada di Mekah menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum be-rada di bawah kekuasaan Bani Umayah Malik ibn Marwan, dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H. saat itu al-Zuhri berumur antara 10 sampai 18 tahun dan baru selesai tahun 72 H. Karena itu, tidak mungkin ’Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sam-pai 18 Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitas pemikiran di kalangan umat Islam pasca wafatnya nabi membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama Islam itu me-me-lalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai Pandangan Wensinck ini sejalan dengan keterangan-keterangan para orientalis di atas yang bermuara pada pandangan bahwa matan itu bukanlah ucapan nabi, melainkan ucapan para ula-ma yang kemudian disandarkan pada Nabi. Wensinck menuduh ma-27Muhammad Musthafa Azami, Dirāsāt  al-Hadīth al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih Beirut al-Maktab al-Islami, tth., al-Mushtashriqūn, 50. Idri, Eksistensi Hadis Nabi 213tan hadis tentang akidah dan syari’ah sebagai hadis palsu. Misalnya, hadis yang diriwayatkan dari Ibn ’Umar bahwa Rasulullah bersab-da Islam didirikan atas lima rukun; mengucapkan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah ..... Menurutnya, hadis yang berisi syahadat ini merupakan buatan saha-bat, bukan perkatan nabi, karena nabi tidak pernah mewajibkan me-lafalkan dua kalimat syahadat bagi orang yang baru masuk Islam, baru ketika kaum muslimin berdebat dengan orang-orang Kristen di Syam, mereka mendapatkan pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan dua kalimat Tuduhan Wensinck tentang kepalsuan hadis mengenai sya-hadat sebagai salah satu rukun Islam di atas, menurut Azami ter-lalu mengada-ada, karena Wensinck tahu persis bahwa dua kalimat syahadat menjadi bagian dari shalat yang dilakukan berjamaah oleh umat Islam semenjak masa nabi di samping shalat-shalat sunnah, dan kalimat tersebut termasuk dalam adzan yang dikumandangkan sejak masa di atas menunjukkan bahwa pandangan para orien-talis terhadap sanad sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakini sebagai sesuatu yang bukan berasal dari nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan se-kaligus matan yang ada dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ula-ma dan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Untuk mendukung keyakinan tersebut, mereka mencari-cari ar-gumentasi sehingga sanad – dan otomatis matan - dipahami seba-gai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan perkataan mereka. Implikasi dari pemikiran para orientalis tersebut sama dengan konklusi mereka yang dijelaskan di atas, yaitu baik sanad maupun matan hadis tidak dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Pendapat ini sangat berbeda dengan pendapat yang dipegang oleh para ulama hadis bahwa matan hadis 30Azami, Dirāsāt, 460-461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqūn, 461, juga al-Mursafi, Al-Mushtashriqūn, Dirāsāt, 392. 214 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216yang shahih benar-benar berasal dari nabi, sementara cikal bakal sanad sudah ada semenjak nabi masih hidup ketika para sahabat saling meriwayatkan hadis-hadis yang mereka terima dari nabi. Dengan demikian, jika penolakan terhadap keberadaan sanad dan matan hadis oleh para orientalis itu diterima, maka hal ini dapat berakibat pada [a] hadis-hadis nabi tidak dapat diakui kebenaran-nya berasal dari nabi karena semuanya palsu, [b] teori-teori ilmu ha-dis tidak dapat digunakan untuk menyeleksi keabsahan suatu hadis, dan [c] menuduh bahwa para ulama dan periwayat hadis sebagai para pendusta yang sengaja membuat sanad untuk pernyataan-per-nyataan yang kemudian disandarkan pada Nabi. PENUTUP Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat pandangan yang sangat berbeda antara para orientalis dengan ulama hadis tentang Islam dan hadis. Perbedaan tersebut pada dasarnya bermula dari pandangan mendasar tentang sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis itu sendiri. Karena mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad dan hadis merupakan perkataan sa-habat Nabi atau umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah, maka ajaran Islam bukan wahyu Allah melainkan buah pikiran Muham-mad yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Taurat, Injil, dan sebagainya dan hadis berasal dari tradisi di kalangan umat Islam abad pertama dan kedua Hijriyah sebagai akibat dari perkembangan negatif tentang al-Qur’an dan hadis juga meram-bah pada pemahaman tentang Islam, hadis Nabi, eksistensi sanad dan matan hadis, termasuk di dalamnya pencitraan terhadap pribadi Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam itu. Pandangan-pan-dangan tersebut telah dijawab oleh para ulama hadis yang menya-takan tentang kebenaran Islam dan al-Qur’an sebagai wahyu Allah serta hadis sebagai sabda nabi. Pembelaan mereka di samping ber-dasar data sejarah juga argumentasi dari pendapat para orientalis tentang eksistensi hadis adalah bahwa karena menurut mereka hadis bukanlah sabda nabi Idri, Eksistensi Hadis Nabi 215tetapi buatan umat Islam pada abad pertama dan kedua Hijriyah, maka sesuatu yang disebut hadis Nabi sesungguhnya ucapan-uca-pan manusia biasa yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang kemudian disandarkan kepada nabi. Jadi, sesuatu yang disebut ha-dis Nabi, yaitu perkataan, perbuatan, dan persetujuan nabi, sesung-guhnya tidak ada, karena sesuatu yang disebut hadis nabi itu adalah perkataan sahabat, tabi’in, atau orang-orang sesudah mereka. Kalau pun dikenal istilah hadis nabi, hal itu hanyalah istilah saja yang esensi dan eksistensinya bukan dari nabi. Dengan demikian, hadis itu tidak berasal dari nabi dan kebenarannya tidak dapat dipertang-gung-jawabkan sehingga ia tidak dapat dijadikan hujjah dasar- ar-gumentasi dalam kehidupan beragama. Hanya saja, – sebagaimana penelitian ulama hadis – karena ar-gumentasi dan data yang dijadikan dasar berpikir para orientalis itu lemah, maka pendapat mereka tentang hadis tidak dapat diterima, sehingga yang benar adalah hadis yang shahih adalah benar-benar dari Nabi dan dapat bahkan harus dijadikan hujjah dalil agama Islam. DAFTAR RUJUKANAl-Mursafi, Sa’ad. Al-Mushtashriqūn wa al-Sunnah. Kuwait Mak-tabah al-Manar al-Isla>miyyah, Shubhi. Ulūm al-Hadīth wa Musthalahuh. Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta Gema Insani Press, 2008. Azami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Dirāsāt  al-Hadīth al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnih. Beirut al-Maktab al-Islami, Muh}ammad Mus}t}afa>. Studies in Hadits Methodology and Literature. Indianapolis American Trust Publications, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Rich-mond Curzon Press, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Bandung, Mizan, 2000. 216 Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 199-216Chaetani, Leone. Annali Dell’Islam. Milan Ulrico Hoepli, Wahyudin. Hadis di Mata Orientalis. Bandung Be-nang Merah Press, Ignaz. An Introduction to Islamic Theology and Law, Ja-karta INIS, Joseph. “Alter und Ursprung des Isnad.” dalam Jurnal der Islam, Vol. 8 1917-1918Jamal, Ahmad Muhammad. Muftarayāt ala al-Islām. Berut Dar al-Ilm li al-Malayin, Maryam. Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Jakarta Raja Grafindo Persada, 1997. Lammens, Hanry. L’Islam Croyances et Institutions, Edisi ke-3, Beirut Imprimerie Chatolique, 1926. Marzu>q, Abd al-Shabu>r. al-Ghazw al-Fikr. Jakarta CV Esya, l99lMuir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira. London Oxford University Press, Edward. Orientalisme. Bandung Pustaka Salman, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford Univer-sity Press, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Ox-ford University Press, 1975Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1985Sprenger, Alois. ”On the Origin and Progress of Writing Down the Historical Facts among the Mosulmans,” dalam Journal of Asi-atic Society of Bengal 25 1856-1857 Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jakarta Ichtiar Baru Van Hoove, 1994Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta Pustaka Firdaus, 2004. ... Teori ini adalah teori penanggalan hadis secara analitik dengan telusur jalur-jalur periwayatan isnad, menginventarisir dan mengomparasikan narasi hadis. Idri, 2017. Jonathan Brown mengistilahkan model penelitian yang dilakukan Motzki ini sebagai large-scale analysis. ...Arif BudimanFathul Mu'in Qurrota A'yunThis article aims to demonstrate Harald Motzki's theory of isnad-cum-matn analysis by tracing the hadith about usury. This hadith research theory is based on the historical critical approach HCA which is commonly used by Western scholars in investigating the validity of a hadith. This hadith dating method is carried out through an analysis of hadith transmission based on the simultaneous isnād and matan analysis methods. The main reference in tracing the origin of this hadith is by analyzing the pathways of transmission isnad by collecting and comparing variations of hadith texts, detecting partial common links pcl and common links cl in different paths of transmission and examining the material for find the common link whether purely as the first collector of the hadith. The author's findings in theoretical reflection on the hadith about usury show the Prophet SAW as a common link with three companions as partial common links, namely Abdullah Ibn Mas'ud, Abu Hurairah and Bara' Ibn paper discusses the thoughts of Montgomery Watt about Islamic studies, especially Watt's opinion regarding the relationship between the three divine religions Judaism, Christianity, and Islam. This study aims to show that not all orientalists are subjective in studying Islam. Watt, for example, in his research tries to be objective by taking sources from Islam itself. The research method used in this study is descriptive analysis, which is a qualitative research method concerning library research sources. Then the data was analyzed using Huberman & Miles data analysis, which went through three stages data reduction, data presentation, and conclusions or verification. The study results show that Watt and Muslims have the same opinion regarding the theological relations of the divine religion, Judaism, Christianity, and Islam. The similarity is in terms of the essence of the samawi religion brought by Ibrahim, also called millah Ibrahim Hanifa. Tulisan ini membahas mengenai pemikiran Montgomery Watt dalam kaitannya dengan kajian Islam, khususnya pendapat Watt mengenai hubungan antara ketiga agama samawi Yahudi, Kristen dan Islam. Tujuan penelitian ini untuk menunjukkan bahwa tidak semua orientalis bersikap subyektif dalam mengkaji Islam. Watt misalnya yang dalam penelitiannya berusaha bersikap obyektif dengan mengambil sumber-sumber dari Islam itu sendiri. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini ialah deskriptif-analisis, yaitu metode penelitian kualitatif dengan merujuk pada sumber-sumber kepustakaan library research. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis data Huberman & Miles yang melewati tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Watt dan umat Islam memiliki pendapat yang sama mengenai relasi teologis agama samawi, Yahudi, Kristen dan Islam. Persamaan tersebut ialah dari segi esensi agama samawi yang dibawa oleh Ibrahim atau disebut juga millah Ibrahim Hanifa. Muhammad Ilham AzizTujuan penulisan ini adalah untuk melihat subjektivitas dan objektifitas tokoh orientalis dalam mengkaji sejarah Islam, serta menambah pengayaan khazanah intelektual yang berkaitan dengan historiografi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah dengan jenis penelitian library research, dengan mendalami buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan. Historiogafi orientalis merupakan suatu studi tulisan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang barat terhadap bangsa timur. Penulisan sejarah oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Timur dimulai sejak abad ke XII, dapat dilihat dari tokoh-tokoh orientalis yang belajar dan mencoba untuk mengkaji Islam serta memindahkan ilmu pengetahuan Islam ke Eropa. Peradaban Islam bukan hanya memberi sumbangsi besar bagi bangsa Eropa yang dahulunya masuk dalam wilayah kekuasaan Islam, akan tetapi juga bagi orang Eropa yang diluar daerah itu. Jika dilihat dari sisi historis, historiografi orientalis memiliki karakteristik penulisan yang bersifat analisis dan kritis, dan metode multidisipliner. Historiografi orientalis timbul setelah terjadinya gesekan antara dunia Barat dan Timur lebih mengerucut lagi yakni perang ideologi dan peradaban antara umat Islam dan Kristen. Gerakan penulisan sejarah oleh tokoh-tokoh orientalis muncul sudah sejak lama tetapi baru menampakan dirinya secara terorganisir pasca kekalahan bangsa Barat oleh Islam pada Perang Salib. Banyak tokoh-tokoh sejarawan orientalis yang memiliki andil besar dalam penulisan sejarah Islam, salah satunya adalah William Montgomery Watt, dan sebenarnya masih banyak lagi sejarawan-sejarawan orientalis lainnya. Watt dalam karyanya yang berjudul Muhammad Prophet and Stateman mendapat beberapa kritikan dari tokoh muslim. Akan tetapi, dalam kajian historis, Watt memiliki pandangan yang objektif dalam menjelaskan pemikiran Islam dibanding dengan pengkaji Islam HikmiOrientalist studies of Islam and hadith have generated mixed responses from Muslims. Some were loud, extreme and quite harsh by rejecting the studies conducted by the Orientalists. However, some other Muslims are gentler by taking the positive side of the studies they have carried out, namely that they can contribute to Islamic knowledge and assets and also study of hadith in particular. Several names emerged which were later considered as orientalists who were quite intense in studying Islam and hadith, they were Ignaz Goldziher, Duncan Black, Carl Becker, Snouck Hurgronje, and Louis Massignon, Wensinck, Joynboll, Daniel W. Brown, Alois Sprenger, Sir Willian Muir, A. Guillaume, S. Mackrnsen Ruth, J. Schact, and others. The orientalists who departed from a skeptical attitude began to cause uproar among Muslims by saying that the hadith was only made by the Companions and not from the Prophet. They also criticize the hadith in terms of sanad or matan, whose authenticity is still considered very dubious and lean made by certain orientalis, critic, sanad, MatanA. Munawwir Ani LestariFita Ratu PriliaHadith studies have not only become the focus of Islamic scholars' attention, but have also become material for orientalist studies. So from this, there are many western scientists and scholars who chose the path of researching hadith. Starting from Ignaz Goldziher to leading scholars of hadith from Germany, Harald Motzki also graces the list of western scholars who are competent in the study of hadith. The long history of hadith in the west is evidence of the proliferation of hadith studies. In contrast to Muslims, western people study hadith departs from their distrust of hadith. Surely this is a different portrait of the traditions of the eastern people. Therefore, various theories and methods they used to justify that the hadith did not come from the Prophet Muhammad, but was made by people after him. This article is in the form of an attempt to explain at length the theory proposed by Joseph Schacht in order to undermine the authenticity of the hadith itself, and some of its weaknesses, which are based on the views of Islamic scholars'.Zakiyah Zakiyah Edriagus SaputraRahma Ghania AlhafizaThis article aims to reveal Fazlur Rahman's thoughts about hadith and sunnah. His view of the hadith originated from the controversy in understanding the hadith by the Orientalist. According to the Orientalist, the Hadith lies Muslims in the first century of the emigration and not the words, deeds and decrees of the Prophet. Thus, it is their words that were based on the Prophet Muhammad. A literary survey was used to find out Fazlur Rahman's thoughts. It was carried out by tracing some of Fazlur Rahman's works or articles that discussed Fazlur Rahman's and Orientalist thoughts on the hadith. Thus it was found that the hadith according to Fazlur Rahman related to his rebuttal to Orientalist thought is a hadith originated from the Prophet and not the result of the fabrication of the early Muslim period. Meanwhile, the concept of sunnah which was stated by the Orientalists was considered invalid, because according to them, sunnah was a valid concept and operative since the beginning of Islam. It is valid for all AnwarIn Islam, Hadith becomes the second guidelines after Al-Quran, therefore, Moslem had done a lot of efforts to keep its authenticity. At the beginning of Muhammad prophecy, there was no any Hadith coding as like Al-Quran. The existence of Hadith narration in Prophet Muhammad era was still debated because of the two contradictory Hadith riwayah. One of them indicated the prohibition for Hadith narration, and other directed its approval which led Hadith narration. Compared with ummi group, in Prophet Muhammad era, only few of Prophet Muhammad companions were able to write. In accepting the Hadith narration, the companions relied on the memorization than writing. The majority of Hadith Preachers assumed that, Hadith had been written by the companions when Prophet Muhammad was still alive. Whereas, the orientalist and some of modern Moslem experts mentioned that Hadith had not been written in Prophet Muhammad era. Some of the companions had their own Hadith writing, although there were any contradictory Hadith between prohibition and approval in Hadith writing. Only few companions who wrote Hadith, such as Abdullah Ibn Amr Ibn Al-Ash, allowed by Prophet Muhammad to write Hadith. Prophet Muhammad never instructed certain companion to write and compile Hadith as like Al-Quran which was officially written by Prophet Muhammad’s individual secretary, Zayd Ibn Tsabit. Whereas, the officially Hadith coding was started at Umar ibn Abd al Aziz era 99H – 101H. Syarifuddin SyarifuddinMoh. Zaiful RosyidThe hadith is manifested on form real in life, word, behaviours and attitude of the Prophet towards all things, sometimes its own law that is not found in the Qur’an. The existence of hadith which a central among Muslims became targets for Islam’s enemies including orientalists to undermine its guidelines. The Study and research of the hadith continues to be done as basis for doubting the validity of the of the hadith’s, Goldziher as one of the oriental figures who did conducted a study of hadith by continously storming the validity of the hadith with doubting authenticity of the prophet’s hadithKritik Hadis. Jakarta Pustaka FirdausAli Ya'qubMustafaYa'qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta Pustaka Firdaus, Ichtiar Baru Van HooveTim Ensiklopedi PenyusunIslamTim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jakarta Ichtiar Baru Van Hoove, 1994The Development of Exegesis in Early IslamHerbert BergBerg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Richmond Curzon Press, L LammensIslamLammens, Hanry. L'Islam Croyances et Institutions, Edisi ke-3, Beirut Imprimerie Chatolique, Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of HegiraWilliam MuirMuir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira. London Oxford University Press, 1988.
KumpulanHadits Shahih Pilihan Edisi 001. عَنْ سَهْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ( (مَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَلَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا)).
Ilustrasi hadits dalam agama Islam. Foto Pertanyaan tentang Hadits yang Sering Diajukan Umat MuslimIlustrasi hadits yang menjadi rujukan kedua agama Islam. Foto semoga Allah memberimu taufik, bahwa wajib bagi setiap Muslim untuk mengetahui perbedaan antara riwayat yang shahih dan yang tidak shahih. Dan perbedaan antara perawi yang tsiqah dan yang tertuduh berdusta. Dan hendaknya tidak meriwayatkan hadits-hadits tersebut kecuali yang diketahui keshahihannya dan selamat para perawinya.”
Apaitu Hadist ? Hadist adalah, ما أضيف إلى النبيﷺ من قول، أو فعل، أو تقرير، أو وصف. segala sesuatu apa yang sandarkan kepada Nabi ﷺ, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (penetapan atau persetujuan) atau sifat. Atau Hadist adalah, و هو يختص بما أضيف إلى النبيﷺ
Illustrasi Harta. Foto FreepikHarta dalam bahasa Arab disebut al-maal yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi. Al-maal dapat pula diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan dapat mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam Alquran, harta dipandang sebagai suatu ujian yang diberikan Allah kepada umat-Nya. Allah SWT berfirmanاِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌArtinya “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah pahala yang besar.” QS. At Tagabun 15.Hal tersebut juga diperkuat oleh hadits tentang harta dari sabda Rasulullah SAW berikut “Ka'ab bin Iyadh telah berkata, aku mendengar Nabi bersabda, "Sesungguhnya bagi setiap umat ada fitnahnya ujian, dan fitnah bagi umatku adalah masalah harta.” HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Hibban.Hadits di atas menyebutkan bahwa harta merupakan fitnah bagi umat Islam. Lalu, selain kedua dalil tersebut, apakah ada hadits tentang harta lainnya? Simak uraian artikel di bawah ini untuk mengetahui Tentang HartaIllustrasi Harta. Foto FreepikMenukil dari jurnal yang berjudul Harta dalam Prespektif Alquran Studi Tafsir Maudhu’I karya Fauzul Iman, berikut adalah beberapa hadits tentang harta yang sebaiknya dipahami oleh umat akan menjadi nikmat apabila dimanfaatkan oleh orang yang sholeh. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik harta adalah yang ada pada seorang yang sholeh.” HR. Ahmad.Umat Islam dilarang untuk memakan harta saudaranya dengan cara yang batil sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut“Ibn Mas'iid berkata, telah bersabda Rasulullah, “Tidak halal darah seorang Muslim kecuali karena tiga sebab seorang yang beristri atau bersuami yang berzina, orang yang membunuh dan orang murtad yang keluar dari agamanya kemudian memisahkan diri dari al-jamaah.” HR. Muslim.Fungsi harta bagi umat Islam adalah untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak atasnya. Rasulullah bersabda, "Bersedekahlah kalian, karena sesungguhnya akan datang suatu zaman di mana seorang laki-laki berjalan membawa sedekahnya namun tidak mendapatkan satu orang pun yang mau menerimanya, maka berkata seseorang kepadanya, “Seandainya kamu datang kemarin tentu aku akan menerimanya, adapun sekarang aku tidak memerlukannya lagi.” HR. Bukhari.Apabila seseorang tidak mampu berjihad dengan jiwa raga, maka dia bisa berjihad dengan hartanya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang membantu menyiapkan tentara untuk berperang dijalan-Nya maka pahalanya sama seperti orang yang berperang tanpa menguranginya.” HR. Muslim.Akan datang zaman di mana seseorang tidak peduli lagi dengan cara apa dia mendapatkan hartanya. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh akan datang suatu masa, saat itu manusia tidak lagi peduli dengan cara apa dia menghasilkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah haram.” HR. Bukhari. 9YGIIdQ. 56 79 232 57 4 135 19 148 124

kumpulan pertanyaan tentang hadits